MASA LALU - BUMI DIPASENA NASIBMU KINI…
2002-09-04 12:15:29 wib
PolitikIndonesia.com:
Pada, tahun 1980-an, kawasan itu sangat sepi dan gelap gulita di malam hari. Muara Way Mesuji di Kabupaten Tulang Bawang sama sekali belum dikenal. Kondisi dan struktur lahan di Tulang Bawang, daerah sekitar muara Way Mesuji, berupa rawa-rawa yang membelukar, tumbuhan air dan pohon bakau. Kala itu, kawasan ini lebih tepat disebut daerah tak bertuan. Di sana banyak berkeliaran binatang melata seperti buaya muara, ular berbisa, biawak, kadal, dan kawanan burung liar pemakan ikan. Bahkan sampai saat ini pun buaya-buaya itu masih banyak dan sering muncul pada sore hari.
Jangankan dihuni, para pemancing dan pemburu pun berpikir dua kali untuk bertualang di rawa muara Way Mesuji. "Kalaupun nekat ke sana, barangkali sulit bisa pulang ke rumah. Jika tidak dipatok ular, dimangsa buaya, tercebur dalam rawa yang bergerak, atau bahkan bisa nyasar selama berhari-hari," ungkap Ismail, warga Tulangbawang, yang mengaku tahu persis kondisi awal rawa muara Way Mesuji.
Menakutkan! Itulah gambaran konkret rawa muara Way Mesuji, dekat Desa Teladas, Menggala (Tulang Bawang) saat itu
Namun, delapan tahun kemudian (1988), tak ada yang bisa menyangka kalau muara Way Mesuji bisa berubah menjadi daerah harapan.
Pada tahun 1988 ribuan hekar lahan yang terbentang di sepanjang pesisir Lampung hingga Sumatera Selatan secara bertahap mulai dibangun. Lokasi yang dipilih di muara Way (sungai) Tulang Bawang dan Wai Mesuji, Lampung Utara. Ketika itu, kawasan di Pantai Timur Menggala itu benar-benar sebagai lahan tidur yang tidak produktif.
Wilayah yang dulunya sepi tak ada gemerlap lampu kehidupan, perlahan-lahan memunculkan daya tariknya tersendiri. Semua infrastruktur dibuat sebaik mungkin. Bahkan gemerlapnya lampu di Dipasena kekuatannya tiga kali lipat melebihi dari yang dipunyai pemerintah provinsi Lampung.
Rawa muara Way Mesuji yang telantar mendadak jadi kawasan potensial bernilai ekonomis tinggi. DCD membangun tambak di areal konsesi seluas 16.250 hektar dari 30.000 hektar cadangan yang diberikan Pemda Provinsi Lampung dengan 16 blok.
Investasi DCD memang tidak tanggung-tanggung. Selain membangun tambak, rawa ini juga ditata menjadi tujuh areal infrastruktur seluas 753.28 hektar dan sebuah infrastruktur Tata Kota seluas 1.000 hektar, DCD juga membangun dermaga ekspor khusus untuk pengapalan udang segar ke mancanegara. Kawasan yang belakangan populer dengan nama "Bumi Dipasena", berubah menjadi kota pantai yang mentereng, lengkap dengan berbagai prasarana dan sarana perkotaan.
Selain infrastruktur tambak juga dibangun sarana penunjang aktivitas usaha tambak udang. Seperti, jalan, perumahan karyawan, pasar lokal, koperasi, lapangan olah raga, tempat ibadah dan fasilitas penting perusahaan seperti perkantoran, pabrik pakan dan gudang pakan, instalasi pendingin (cold storage), koperasi, dan lain-lain. Rawa yang status awalnya tanah negara tersebut, belakangan berubah menjadi kawasan berikat (bounded area). Tidak sembarang orang boleh keluar dan masuk.
Selain jauh dan perpencil juga jalan darat menuju ke sana hanya jalan setapak, jarak satu rumah dengan yang lainnya saling berjauhan. Sepi sekali. Dan saat itu belum ada aliran listrik dan jaringan telepon. Begitu Dipasena masuk ke wilayah itu, jalan menuju areal tambak Dipasena menjadi lebar, sekitar 20 meteran dan dapat dilalui truk-truk besar. Truk-truk itu adalah yang mengangkut udang-udang yang siap untuk diekspor.
Untuk wilayah Dipasena aliran listrik bukan masalah, petambak dapat memanfaatkan aliran listrik yang disediakan Dipasena selain untuk memutar kincir tambak juga dapat digunakan bagi keperluan lain.
Tapi untuk masyarakat sekitar Dipasena, listrik masih diupayakan sendiri, dengan menggunakan mesin disel dengan kapasitas yang terbatas. Nyala lampu hanya dari sore dan dipadamkan pada pagi harinya. Pasalnya, jaringan PLN belum masuk sampai ke Rawa Jitu dan sekitarnya. Untuk jaringan telepon masih untung ada wartel dengan fasilitas dari pihak swasta.
Saat ini wilayah yang termasuk dalam kecamatan Rawa Jitu Utara dan Rawa Jitu Selatan sudah cukup padat penduduknya. Telah berdiri pasar tradisional, sangat ramai dari siang sampai malam. Banyak rumah makan dan penginapan sederhana. Transportasi darat, bis-bis ukuran sedang khususnya dari Bandar Lampung atau Palembang ke Rawa Jitu ada setiap hari, dan jumlahnya sangat banyak. Bahkan mobil-mobil mewah nan baru bisa dijumpai di jalan Rawa Jitu.
Pada tahun1996 terdapat 18.000 petak tambak di 16 blok . Setiap petani plasma mengelola satu tambak seluas 4.000 meter persegi, yang terdiri dari 2 petak yang masing-masing berukuran 40 meter x 50 meter dan menempati rumah ukuran 5 x 7 meter beserta isinya, seperti, satu set kursi tamu, kompor, satu lusin piring dan satu lusin gelas.
Selain itu petambak juga memperoleh suplai bahan kebutuhan hidup (sembako) seperti beras 25 kg, ikan asin, minyak tanah, minyak goreng, 1 dus super mie, sabun. Dan setiap bulannya petambak juga memperoleh uang Rp 175.000,- terus naik menjadi Rp 250.000,- naik lagi menjadi Rp 350.000,- dan terakhir naik lagi menjadi Rp 500.000,- dan yang terkhir ini berjalan cuma dua bulan, karena terjadi konflik antara inti dan plasma tambak. Baik suplai kebutuhan pokok, maupun tunjangan uang bulanan, bukan merupakan gaji, tapi dihitung sebagai kredit bagi petambak dari Dipasena.
Kompleks Dipasena yang terdiri dari 8 desa. Blok 00 dan blok 01 yang termasuk lokasi tambak baru yang dibangun paling akhir, termasuk desa Ekpansi, Blok 02 dan 03 desa Utama, Blok 04 dan 05 desa Agung, Blok 06 dan 07 desa Jaya, Blok 08 dan 09 desa Makmur, Blok 10 dan 11 desa Mulia, Blok 12 dan 13 desa Sejahtera , Blok 14 dan 15 desa Abadi.
Lokasi tambak Blok 00 dan 01 berbeda dengan tambak lain, lokasi ini hanya terdiri dari satu petak tambak dengan ukuran 70 x 70 meter. Di setiap dua blok terdapat blok yang khusus untuk infrastruktur seperti, sekolah dasar, pasar, mesjid, panggung hiburan, lapangan olah raga dan sarana penunjang lain untuk kepentingan petambak. Kecuali untuk blok 4 selain sarana untuk petambak juga dibangun perkantoran, koperasi, gedung pertemuan, cold storage, lapangan olah raga, pelabuhan/dermaga, perumahan karyawan, dan sarana penujang lain.
Untuk dapat memasuki lokasi tambak harus melalui gerbang depan, yang disebut Tanggul Penangkis. Lokasi tambak (blok) yang terdekat dengan daratan atau biasa disebut Tata Kota adalah blok 08 dan 09, untuk sampai ke sana perlu waktu sekitar 30 sampai 45 menit dengan memakai kapal speed boat. Tergantung kondisi pasang surut air.
Setelah sarana dan prasananya dibangun dengan modern, pihak DCD kemudian membuat pengumuman tentang lowongan pekerjaan untuk menjadi petambak. Banyak yang tertarik untuk jadi petambak. Tidak hanya dari provinsi Lampung tapi juga dari provinsi lain. Para pelamar diseleksi dengan ketat. Selain pendidikan juga dilakukan tes fisik dan berenang, maksudnya agar petambak terpilih adalah mereka yang tangguh. Dan diharapkan petambak-petambak itu dapat bekerja mengelola tambaknya secara maksimal.
Dipasena menampung sekitar 9.033 orang petambak plasma, 10.000 anggota keluarga petambak, ditambah sekitar 11.000 orang karyawan. Jika dihitung dengan masyarakat sekitarnya dan dampak langsung kepada kegiatan perekonomian sebenarnya kawasan Dipasena bisa dijadikan sumber nafkah. Ada kurang lebih 300.000 penduduk tinggal di sana. Dan sesungguhnya, kawasan ini adalah penghasil devisa yang tidak kecil bagi negara.
Dengan infrastruktur yang cukup modern, termasuk sarana pengairan dan pakan yang baik dan teratur ditunjang dengan bibit udang (benur) baik menghasilkan udang yang layak ekspor. Bidang-bidang usaha Dipasena selain sebagai eksportir udang juga melakukan pembenihan, pembekuan, pabrik pakan, dan industri peralatan pertambakan.
Dua belas tahun terakhir, terutama sejak tambak DCD mulai operasional tahun 1989, Bumi Dipasena muncul jadi kawasan primadona. Hiruk-pikuk aktivitas tambak, mulai dari penebaran benur, panen udang, sampai kepada kesibukan bongkar muat dan ekspor, jadi pemandangan sehari-hari. Kawasan yang semula sangat terisolasi dan sepi manusia, berubah menjadi wilayah tersibuk. Bahkan tingginya mobilitas di Bumi Dipasena sampai-sampai menghasilkan julukan: Bumi Dipasena identik dengan denyut nadi ekonomi Lampung.
Geliat ekonomi baru di Bumi Dipasena, lantas jadi kebanggaan daerah.
Dengan pola Tambak Inti Rakyat (TIR) PT DCD merupakan jawaban yang tepat dan kongkrit, karena secara nyata menghasilkan dan sekaligus mengatasi berbagai masalah, baik tenaga kerja maupun peningkatan pendapatan masyarakat di sekitar proyek.
DCD sebagai inti dan petani tambak sebagai plasma. Istilah populer dari awal disebut, hubungan kemitraan atas asas kebersamaan kedudukan dan keselarasan. Guna memacu keterampilan kelompok mitra, inti menerapkan suatu sinergi kemitraan yang saling memerlukan, saling memperkuat dan saling mengguntungkan.
Sejak adanya DCD di Provinsi Lampung, devisa yang diberikan dari tahun 1995 hingga 1998 selalu meningkat. Pada tahun 1991, mereka memproduksi 1.873 ton udang windu yang melonjak menjadi 11.068 ton pada 1994. Setahun kemudian naik menjadi 16.250 ton. Karena berorientasi ekspor mereka menyediakan dermaga dengan dua kapal, bersebelahan dengan cold storage. Ekspor udang yang sebagian besar dilempar ke pasaran Jepang, Amerika Serikat dan sebagian negara-negara Eropa.
Tercatat devisa yang disumbangkan DCD pada panen perdana tahun 1990 mencapai 3 juta dolar AS, tahun 1991 membukukan 10 juta dolar AS, tahun 1992 sekitar 30 juta dolar AS dan terus meningkat pada tahun berikut 63,8 juta dolar AS, dan puncaknya tahun 1995 hingga 1998 menghasilkan 167 juta dolar AS. Pada tahun berikutnya pendapatan DCD mulai berkurang, selain karena masalah eksternal juga masalah internal di DCD sendiri.
Tak heran jika beberapa tahun lalu, DCD memperoleh banyak penghargaan, salah satunya gelar sebagai salah satu eksportir teladan
PRESTASI DCD
Selain sebagai usaha budi daya tambak udang terbesar di dunia, DCD juga sebagai perusahaan yang peduli terhadap masalah ketenagakerjaan. Ada sekitar 20.000 jiwa yang bekerja di DCD atau sekitar 300.000 yang terlibat dalam bisnis usaha udang DCD.
Dari udang tidak sedikit devisa yang dihasilkan. Dari awal di bukanya DCD produksi udang dari tahun ke tahun selalu meningkat. Dan puncaknya pada 1995 DCD mengekspor udang dengan nilai 167 juta dolar AS. Untuk itu Presiden Soeharto pada 1995 memberi ke PT. Dipasena Citra Darmaja anugerah PRIMAYATA sebagai eksportir terbaik.
Pada 1996, DCD juga mendapat penghargaan sebagai perusahaan kemitraan teladan dari Presiden Soeharto dalam acara Pekan Nasional (PENAS) IX Prestasi Kencana di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dan pada tahun yang sama juga memperoleh penghargaan sebagai eksportir terbaik di Lampung. Perusahaan udang ini tercatat sebagai badan usaha pembayar pajak penghasilan (PPh) tertinggi di Provinsi Lampung.
Semua itu gambaran awal Dipasena. Gegap gempita geliat perusahaan tambak itu masih terasa selama 8-9 tahun. Namun memasuki usianya yang kesepuluh, tahun 1999, Dipasena yang dibanggakan ternyata menggeliat dalam bentuk lain. Dari sana muncul berbagai aksi, reaksi, yang tidak seluruhnya muncul karena faktor internal, tetapi datang dari faktor eksternal, yaitu krisis moneter kawasan Asia.
Aktivitas pertambakan nyaris tak terlihat lagi. Kanal utama buatan dekat muara Way Mesuji, Tulangbawang, yang tak pernah sepi dari lalu lalang speed boat jadi senyap. Armada ekspor peti kemas, kapal ponton dan kapal pengangkut material kebutuhan perusahaan, tak ada lagi
"Saat normal, produksi Dipasena bisa mencapai 666 kg per tambak per siklus panen (enam bulan). Namun, sejak aksi itu produksi udang terus melorot menjadi berkisar antara 250-320 kg per tambak per siklus panen. Salah satu dari dua cold storage milik DCD yang berkapasitas 170 ton udang per hari tidak lagi dioperasikan," jelas Josef Fransisco, salah seorang satuan tugas lapangan DCD.
Namun, sejak awal Maret hingga kini praktis kosong. Sebelum kemelut menerpa, Dipasena bisa ekspor udang segar ke mancanegara, rata-rata 96 peti kemas tiap bulan. Satu peti kemas memuat 20 ton udang. Itu sebatas kontrak dagang yang sudah ditandatangani. Di luar kontrak, secara insidentil Dipasena juga kerap mendapat permintaan konsumen lain di luar negeri.
Pada masa Dipasena berjaya, udang yang dihasilkan setiap kali panen dengan masa 40 – 45 hari dari setiap petak tambak bisa mencapai 1 ton lebih. Tapi saat ini dapat 1 sampai 3 kwintal sudah termasuk lumayan.
Imbasnya kian kompleks. Lebih dari 30.000 jiwa dari keluarga petambak plasma dan 800 kepala keluarga karyawan Dipasena yang terlibat dalam budi daya si bongkok itu kini menganggur. Padahal, sebelumnya, kota ini boleh dibilang tambang dolar. Lima tahun lalu ekspor udang kawasan ini mencapai 19 ribu ton (senilai 167 juta dolar AS), awal 2001 hanya 2,9 ton ( 29 juta dolar AS).
Yang lebih mengenaskan lagi, di kawasan ini mulai muncul berbagai penyakit sosial. Perjudian, tempat pelacuran, dan gubuk-gubuk untuk peredaran narkoba kian merebak. Masyarakat kota itu tampaknya frustrasi meratapi nasibnya. "Banyak sekali anak muda yang gemar minum pil ekstasi. Sedangkan gadis-gadisnya menjajakan diri," kata Agus, yang diamini Mulyadi, warga Pasar Rawajitu, kawasan yang tak jauh dari lokasi tambak Dipasena. Kerugian petani bertumpuk-tumpuk. Selain faktor teknis, permintaan ekspor pun jadi sepi.
2 Komentar:
Sungguh miris
Mudah2an pak jokowi bisa mengembangkan dipasena seperti masa kejayaan nya dulu
#salam2priode
Sangat tidak disangka, perusahaan yang besar bisa meredup dalam 10 tahun
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda