MASA LALU - Kasus Dipasena Harus Segera Dituntaskan
Copyright © Sinar Harapan 2001
Rabu, 26 September 2001
LAMPUNG – Penyelesaian sengketa antara petambak plasma dengan perusahaan intinya PT PT Dipasena Citra Darmaja (DCD) makin tidak berujung, menyusul pengusiran para karyawan oleh petambak tanggal 19 September 2001 lalu. Meskipun sudah ada jaminan keamanan dari Polda Lampung, namun hingga kemarin, sekitar 1.300 karyawan masih belum berani bekerja kembali. Maklum, intimidasi dan pengusiran yang mereka alami bukan lagi sekali dua sehingga sudah menimbulkan trauma yang mendalam.
Padahal, sebelumnya tanggal 13 September 2001 sudah dicapai kesepakatan damai antara petambak dengan karyawan yang ditandatangani semua pihak yang bertikai di Bandar Lampung. Dalam kesepakatan itu, semua pihak sepakat mematuhi ketentuan yang tertuang dalam naskah kesepakatan dan tidak akan saling mengganggu. Bahkan pihak-pihak yang bertikai akan bekerja sama dengan baik.
Tapi apa lacur, belum sepekan kemudian keributan kembali terjadi. Kendati kuasa hukum petambak membantah, kliennya yang melakukan intimidasi dan pengusiran, tapi kuat dugaan secara pribadi anggota Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) yang menjadi kliennya ikut terlibat. Apalagi dari awal, P3UW sudah bertekad untuk tidak melanjutkan kemitraan dengan DCD dan mendesak pemerintah mengambil alih manajemen tambak terpadu terbesar di Asia Tenggara ini.
Apalagi kini pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian sudah makin banyak yang tentunya masing-masing pihak memiliki agenda tersendiri. Kalau sebelumnya yang bertikai hanya inti yang dalam hal ini PT DCD dengan P3UW sebagai plasma, maka belakangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) melibatkan diri dengan alasan para karyawan DCD adalah anggotanya.
Menanggapi pengusiran karyawan Dipasena, Ketua Bidang Hukum SPSI Lampung Usman Gumanti berkomentar keras. SPSI mendesak aparat keamanan segera bertindak. Saat ini yang dibutuhkan adalah ketegasan aparat kepolsian. Termasuk Pemda Lampung yang harus segera mengambil tindakan. Jika intimidasi terus berlanjut, SPSI mengancam pihaknya akan mengadu ke badan buruh PBB ILO (International Labour Organization).
Sebelumnya, akhir Maret lalu, pemerintah pusat melalui KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) sudah menyetujui lima pola restrukturisasi tambak Dipasena. Pertama, penghapusan tunggakan bunga utang plasma Rp1,1 triliun. Kedua, porsi utang plasma yang dapat dicicil dari arus kas ditetapkan Rp100 juta per petambak. Atau berkurang dibanding keputusan KKSK per 27 April 2000 yang menetapkan Rp135 juta per petambak. Ketiga, utang petambak senilai Rp1,9 triliun yang tak dapat direstrukturisasi dibebankan ke PT DCD, tidak dialihkan ke pemegang saham (pemerintah).
Keempat, pemerintah menunjuk financial advisor (penasihat keuangan) yang reputable untuk membantu BPPN dan PT DCD mempercepat proses restrukturisasi. Kelima, menetapkan syarat-syarat yang harus dilakukan PT DCD. Di antaranya, penetapan pola kemitraan inti-plasma secara transparan dan saling menguntungkan. DCD juga diminta menunjuk pihak ketiga yang independen guna mengelola kredit petambak plasma dan transaksi dagang antara inti dan plasma.
Dari kebijakan itu tampak bahwa sikap pemerintah belum berubah, masih mempercayakan tambak seluas 9.600 ha yang terhampar di muara Sungai Mesuji itu kepada PT DCD yang menurut petambak sudah tidak mungkin dilanjutkan lagi. Oleh sebab itulah dalam safari unjukrasa petambak yang terakhir ke Jakarta, awal Mei lalu mereka menuntut kepada BPPN agar pemerintah segera mengambil alih pengelolaan pertambakan itu. Itulah barangkali kenapa tambak yang mulai dibuka sejak 11 Agustus 1988 di atas lahan 16.200 ha tetap masih kisruh. Padahal kasus itu sudah mencuat ke permukaan sejak Oktober 1999 silam.
Tidak Transparan
Pertikaian petambak dengan PT DCD tidak akan sekacau sekarang sekiranya, dari awal pihak inti tidak arogan dan berlaku transparan dalam berbisnis dengan mitranya. Sejak dibuka hingga kini, belum satu pun dari sekitar 9.000 petambak yang sudah melunasi utangnya. Sebagaimana diakui sejumlah petambak, dengan beban kredit investasi (KI) Rp70-Rp80 juta dan kredit modal kerja (KMK) Rp30—Rp50 juta seharusnya utang sudah lunas paling lama enam tahun, dari tahun 1988 hingga 1994 dengan rata-rata setoran udang ke inti 2 ton per tahun pada harga Rp20 ribu/kg (rata-rata harga udang kurun 1988-1994) berjumlah Rp4 juta.
Perhitungannya, total pinjaman Rp120 juta ditambah dengan beban bunga 15 persen per tahun selama enam tahun Rp108 juta. Hasil penjualan udang selama enam tahun yakni 6 kali Rp4 juta berjumlah Rp240 juta. Tapi petambak tidak bisa memonitor perkembangan kreditnya, termasuk nilai setoran setiap habis panen karena selama menjadi mitra PT DCD kepada mereka tidak pernah diberikan laporan rekening tahunan kredit.
Bahkan akte perjanjian kredit pun mereka tidak memiliki. Hanya sewaktu hendak menjadi plasma, kepada mereka disodori berkas yang harus mereka tandatangani. ”Karena saking banyaknya lembaran yang harus ditandatangani saya tidak sempat lagi membacanya,” kenang Warso, salah seorang petambak generasi pertama kepada , beberapa waktu lalu.
Dan benar saja hingga 10 tahun kemudian, justru utang petambak bukannya berkurang, malah berlipat ganda. Sebagaimana dilaporkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) bulan April 2000, rata-rata utang pokok petambak mencapai Rp135 juta, di luar bunga. Lalu pertanyaannya sekarang, kemana duit setoran udang dari seribu lebih petambak selama 10 tahun tersebut? Dimana transparansi pengelolaan keuangannya. Lebih-lebih lagi pada awal tambak ini dibuka disebutkan dana yang digunakan adalah kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI) sehingga bungnya rendah.
Namun setelah rezim Orde Baru, beking Syamsul Nursalim dalam mengembangkan tambak ini jatuh, diketahui dana yang digunakan berasal dari pinjaman dolar. Kalau begitu, duit dari KLBI digunakan untuk apa? Masalah-masalah itulah yang membuat petambak setengah gila yang pada akhirnya bertindak diluar kewajaran karena sudah tidak percaya lagi kepada inti yang dituding telah memperdaya mereka bertahun-tahun.
Kini, Pemda Lampung yang selama ini menjadi mediator pertikaian jangan lagi mengulur-ngulur penyelesaiannya. Sebab diakui atau pun tidak, kasus pertambakan yang terletak di antara Way (Sungai Tulangbawang dengan Way Mesuji, Kabupaten Tulangbawang itu sudah menjadi isu nasional dan menyangkut hajat sekitar hampir 80 ribu jiwa warganya (9.000 petambak dan 7.000 karyawan PT DCD di lokasi dan kantor pusat Telukbetung dengan keluarga rata-rata lima jiwa). Selain itu dampaknya terhadap minat investor menanamkan modalnya di Bumi Ruwa Jurai ini tidak bisa diabaikan. Dituntut kearifan Pemda mencari solusi yang sama-sama menguntungkan pihak-pihak yang bertikai.
(SH/syafnijal datu sinaro)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda