Pemerintah Diminta untuk Tidak Terburu-buru dalam Kasus Dipasena
Siaran Pers WALHI, 24 Mei 2007
Jakarta, 24 Mei 2007 – WALHI meminta pemerintah untuk tidak terburu-buru dalam memutuskan masa depan industri udang Dipasena. Pernyataan ini diungkapkan M. Riza Damanik, manajer kampanye pesisir dan laut sekaligus koordinator ASIA (Asia Solidarity Againts Industrial Aquaculture) setelah mendengar rencana pemerintah untuk mengumumkan investor baru yang akan mengambil alih Dipasena pada esok hari, 25 Mei 2007.
PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) sebelumnya telah menetapkan empat investor menjadi peserta tender Dipasena, yakni Konsorsium Laranda (Filipina), PT Central Proteinaprima (kelompok Charoen Pokphand Thailand), Thai Royal (Thailand), dan PT Kemila International Holding Co (Indonesia), dengan syarat utama perusahaan minimal lima tahun bergerak dalam budi daya udang, dan bisa menunjukkan bukti kemampuan modal minimal Rp 1,7 triliun paling lambat 21 Mei 2007.
Riza menambahkan bahwa kesempatan ini seharusnya bisa digunakan oleh pemerintah untuk tidak hanya berbicara masalah permodalan, tapi lebih dari itu, Dipasena telah menimbulkan berbagai masalah sosial dan lingkungan yang hingga hari belum juga terselesaikan. Faktanya, tidak satupun masyarakat mengetahui jumlah pasti utang yang harus mereka bayar hingga hari. Bahkan, menurut pengakuan salah seorang petambak plasma Dipasena, Pak Suprakanto setelah membaca surat keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), terungkap bahwa utang rata-rata petambak plasma masih berkisar Rp 100 juta-an. Padahal para petambak telah berproduksi selama 8 tahun dan telah membayar kewajiban yang secara otomatis dipotong pada setiap penjualan hasil panen udang mereka. Ketidakjelasan ini justru menyebabkan petambak plasma sulit untuk melunasi utang mereka dan mendapatkan kembali sertifikat tanah yang sebelumnya telah diagunkan kepada Bank BDNI sekitar tahun 1989.
Di samping itu, isu kerusakan lingkungan juga menjadi masalah tersendiri dalam industri ini, mulai dari musnahnya ekosistem hutan mangrove dan menurunnya kualitas perairan dan lahan, yang telah menyebabkan menurunnya kualitas hidup petambak plasma (mulai dari pemenuhan kebutuhan mendasar hingga kesehatan) dengan jumlah petambak plasma berkisar 9.033 petambak. Kerusakan lingkungan juga telah menyebabkan terjadinya bencana abrasi, sedimentasi, dan penggaraman air tanah (salination) baik di dalam maupun sekitar perusahaan.
Tidak hanya di dalam perusahaan, permasalahan ini juga memicu konflik di luar perusahaan. Masyarakat nelayan yang berada disekitar perusahaan merasa dirugikan pasca pencemaran yang diakibatkan oleh buangan air tambak perusahaan ke sungai hingga laut, yang pada akhirnya menyebabkan menurunnya tangkapan ikan mereka.
“Untuk itulah, seharusnya pemerintah menggunakan kesempatan ini untuk mendapatkan komitmen dari semua pihak guna melindungi dan menjamin terpenuhinya hak-hak petambak plasma dan masyarakat disekitar perusahaan, serta menjamin dilakukannya pemulihan lingkungan secara menyeluruh” ungkap Riza
Label: dan PT Kemila International Holding Co (Indonesia), Konsorsium Laranda (Filipina), PT Central Proteinaprima (kelompok Charoen Pokphand Thailand), Thai Royal (Thailand)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda