Petambak Terbelenggu Utang Ratusan Juta
Petambak Terbelenggu Utang Ratusan Juta
Kamis, 23 April 2009 | 03:11 WIB
Siang yang terik. Dari bilik rumah kayu usang, Mujiono (38) menatap dua tambak udang miliknya. Tanah dasar kolam yang masing- masing berukuran 2.000 meter persegi itu keras dan retak-retak. Plastik hitam pelapis dindingnya terkoyak. BM Lukita Grahadyarini dan Helena F Nababan
Tambak di Kampung Dipasena Jaya, Lampung, itu kini tak ubahnya kolam tandus. ”Saya berulang kali menambal tambak agar tidak bocor dan bisa berfungsi, tapi tidak berhasil,” tutur Mujiono, Sabtu (18/4).
Kisah Mujiono juga menghinggapi ribuan keluarga petambak plasma udang vanamei di areal seluas 16.250 hektar di lokasi tambak eks PT Dipasena Citra Darmaja (DCD) yang kini dimiliki PT Aruna Wijaya Sakti (AWS). PT AWS adalah anak perusahaan PT Central Proteinaprima Tbk (CP Prima).
Pola kemitraan yang terjalin antara petambak plasma dan PT AWS sejak tahun 2007 tak mampu mengangkat hidup petambak plasma dari jerat kemiskinan. Ribuan petambak yang mencoba bertahan hidup di areal tambak kini harus pintar-pintar menyiasati pemenuhan kebutuhan hidup mereka.
Jadilah Mujiono kini menanami tanggul di celah-celah kolam tambaknya dengan sayur- mayur guna menopang kebutuhan keluarga. Jenis sayuran yang ditanam mulai dari tomat, cabai, terung, jagung, hingga kacang panjang.
Dari penjualan sayur-mayur itu, Mujiono memperoleh pendapatan rata-rata Rp 500.000 per bulan. Selain itu, ia juga mengandalkan pemberian utang bulanan plasma (HBP) dari perusahaan sebesar Rp 900.000.
Kisah petambak plasma eks Dipasena adalah kegetiran hidup yang berawal sejak kemitraan dengan PT DCD dihentikan tahun 1999.
Kemitraan inti-plasma udang windu dengan PT DCD terhenti sewaktu petambak plasma mempertanyakan hitung-hitungan perusahaan terhadap kredit pembelian udang, harga jual udang olahan, harga pakan, obat-obatan, dan ongkos budidaya yang tak kunjung lunas.
Kerusuhan yang terjadi di lokasi budidaya serta krisis ekonomi tahun 1998 membuat PT DCD menghentikan usaha pertambakan udang terbesar dan terpadu di Indonesia itu. Semua aset perusahaan dan plasma disita negara.
Setiap petambak dibebani utang awal Rp 20 juta sebagai peninggalan utang PT DCD.
Terbekap utang
Selepas era DCD, perusahaan eks Dipasena beberapa kali berganti kepemilikan.
Tahun 2003, Badan Penyehatan Perbankan Nasional mencoba menghidupkan usaha pertambakan itu dengan menggulirkan program Pra Intensif (PI), dilanjutkan dengan program Pra Intensif Lanjutan (PIL).
Petambak diberikan biaya hidup bulanan yang dihitung sebagai utang. Biaya itu termasuk untuk pembelian benur, pakan, dan operasional tambak.
Pada Februari 2007, perusahaan beralih kepemilikan ke PT Recapital Advisors selaku kreditor pembiayaan program revitalisasi tambak udang eks Dipasena. Namun, perusahaan itu akhirnya mundur, Maret 2007, karena tak sanggup membiayai pendanaan.
Harapan atas perbaikan nasib plasma muncul sewaktu pemerintah menjual aset PT DCD ke Konsorsium Neptune yang diketuai CP Prima pada Mei 2007.
Kemenangan Konsorsium Neptune disertai dengan komitmen perusahaan untuk melaksanakan revitalisasi tambak, restrukturisasi infrastruktur tambak agar petambak plasma bisa berbudidaya secara intensif, dan perbaikan fasilitas umum.
Revitalisasi dijadwalkan berlangsung selama 18 bulan sejak Maret 2008 dan selesai Agustus 2009. Program direncanakan berlangsung pada 16 blok tambak di delapan kampung.
Komitmen itu membawa secercah harapan bagi petambak plasma untuk meningkatkan kesejahteraan, terlunasinya utang, dan peningkatan produktivitas yang pada gilirannya meningkatkan keuntungan perusahaan.
Sambil menunggu revitalisasi, petambak mengikuti program Budidaya Antara (BdA) udang vanamei. Setiap petambak mendapat biaya bulanan (HBP) sebesar Rp 900.000 yang dihitung sebagai utang ke perusahaan.
Akan tetapi, pada awal tahun 2009, program revitalisasi dihentikan ketika revitalisasi baru mampu menyelesaikan satu blok di Blok 3 Desa Dipasena Utama.
Corporate Communication Manager CP Prima Fajar Reksoprodjo mengatakan, krisis ekonomi global membuat perusahaan harus menerapkan manajemen keuangan yang lebih berhati-hati sehingga program revitalisasi dijadwal ulang.
Pada beberapa kali pertemuan petambak dan perusahaan pada Maret-April 2009, perusahaan mengusulkan penyelesaian revitalisasi diundur sampai Desember 2011. Petambak diminta mengikuti program Budidaya Antara Lanjutan (BdAL).
Ironisnya, kondisi sarana dan infrastruktur tambak semakin merosot. Data Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) PT AWS mencatat, dari total 15.200 tambak di delapan kampung, sebanyak 10.000 tambak rusak parah.
Sekitar 3.200 tambak lainnya melakukan BdAL dan 600 tambak dalam proses revitalisasi. Hanya 1.400 tambak yang sudah bisa dipakai untuk budidaya secara intensif.
”Dengan penundaan revitalisasi dan kualitas tambak yang merosot, produksi tak akan pernah maksimal, sedangkan petambak makin terjerat utang,” ujar Syukri J Bintoro, Sekretaris P3UW PT AWS.
Para petambak telah berhitung. Dengan utang lama pada era DCD, utang masa PI, PIL, BdA, dan BdAL, maka utang setiap petambak akan terakumulasi hingga ratusan juta rupiah.
Tidak mengherankan, di tengah-tengah areal tambak kini bermunculan warung-warung kecil atau bengkel liar serta kandang ternak kambing di pinggir tambak. Sebagian istri petambak berdagang baju atau membuka warung makan sekadar untuk penyambung hidup.
Tersendatnya revitalisasi juga berimbas pada menurunnya produktivitas kerja karyawan perusahaan. Sebagian karyawan PT AWS yang rata-rata sudah bekerja di atas 10 tahun kini diarahkan untuk bertanam jagung.
”Perubahan kerja ini mengagetkan karena karyawan yang selama bertahun-tahun terbiasa menangani tambak udang kini harus bertanam jagung,” tutur Ketua Pengurus Unit Kerja Serikat Pekerja Pertanian Perkebunan SPSI PT AWS Ketut Minte.
”Dalam kondisi sekarang, pemerintah seolah lepas tangan mengawasi program revitalisasi dan menyelamatkan nasib ribuan karyawan serta petambak plasma,” ujar Ketut.
Petambak plasma dan karyawan kini menanti tanggung jawab perusahaan untuk melaksanakan komitmen awal revitalisasi serta ketegasan pemerintah untuk menyelamatkan nasib karyawan dan petambak plasma.
Tanpa kepedulian dan komitmen semua pihak, nasib petambak plasma eks Dipasena dan karyawan menuju kehancuran.... Utang pun terus
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda